Pemilihan kepala daerah atau pilkada ajang pemilihan kepala
daerah yang di lakukan setiap 5 tahun sekali adalah sebuah proses “demokrasi”
untuk memnentukan kepala daerah. Pilkada
mempunyai beberapa aturan yang telah di tetapkan olah pemerintah, yaitu dalam
RUU baru:
1. Untuk Pemilihan Gubernur dilaksanakan oleh KPUD Provinsi
dan DPRD Propinsi.
2. Untuk Pemilihan bupati/ walikota dipilih langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil
berasal dari asas pemilu
Secara sistematika penyusunan berdasarkan lampiran UU Nomor
10 Tahun 2004, draft ini kurang memenuhi karena tidak dicantumkan penjelasan
baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal-pasal atau ayat.
Dilihat dari pertimbangan hukum (konsideransi) draft ini,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya:
1. Konsiderans
huruf a belum mencerminkan landasan filosofis yang melatarbelakangi dibentuknya
UU ini; apakah pelaksanaan atau penyelenggaran pemilihan kepala daerah yang
selama ini dianggap atau dinilai tidak demokratis?. Kemudian, apakah keperluan
akan pengaturan penyelenggaraan pilkada ini merupakan amanat konstitusional
(UUD NRI Tahun 1945) karena konstruksi norma dalam Pasal 18 ayat (4) tidak
secara tegas (eksplisit) memerintahkan untuk diatur lebih lanjut dengan UU,
justru ayat (4) yang jelas dan nyata mengamanatkan pengaturan lebih lanjut
mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam UU (UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)?.
2. Konsiderans
huruf b,belum terlihat konstatasi fakta yang sepenuhnya menjadi landasan
pembentuknya UU ini. Apakah frase “sudah tidak sesuai dengan perkembangan
keadaan” dapat diterima sebagai alasan
sosiologis-yuridis yang tepat? Karena parameter/alat uji terhadap hal tersebut
sangat sumir dan sulit terukur. Apakah dengan hanya berdasar pada alasan
“ketidaksesuaian” tersebut perlu dibentuk UU tersendiri, apa tidak sebaiknya
dengan penyempurnaan atau perubahan terhadap pengaturan mengenai Pilkada itu
saja?.
3. Konsiderans
huruf c , mengenai rumusan “menetapkan” apakah draft ini nantinya jika telah
disetujui bersama oleh DPR akan dilakukan penetapan oleh Presiden ataukan
pengesahan?.jika mengacu UU No.10 Tahun 2004, rumusan konsiderans ini
seharusnya menggunakan frase “...membentuk Undang-Undang tentang Pemilihan
Kepala Daerah”
Ada beberapa persoalan pokok dalam RUU tentang Pilkada ini,
antara lain:
1. Pasal 22 E ayat
(1) UUD NRI Tahun 1945, apakah sudah tepat dicantumkan sebagai legal base,
mengingat Pasal 22 E UUD secara normatif memuat aturan tentang pemilihan umum
untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD. Apakah
dengan konstruksi norma seperti itu dapat dimaknai secara ekstensif bahwa rezim
pilkada untuk memilih gubernur dan bupati/walikota termasuk (include) didalam
regim pemilu sebagaimana Pasal 22 E tersebut.
2. Dalam RUU pilkada ini mencakup pemilihan Gubernur,
dipertanyakan mengapa dalam hal ini mekanisme pemilihan wakil kepala daerah
tidak diatur dalam RUU ini.
3. Selain itu juga pendanaan penyelenggaraan Pilkada di
bebankan pada APBN dan APBD dengan
catatan mekanisme batasan
penggunaan APBN/APBD tetapi khusus untuk wakil gubernur, wakil bupati/ walikota
diatur tersendiri atau terpisah dari RUU ini.
4. Apakah tidak
sebaiknya UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU
Nomor 12 Tahun 2008 tentang pemerintahan masih perlu dicantumkan, dengan
pertimbangan:
a. Bahwa ketentuan
mengenai Pilkada merupakan bagian (sub-bagian) dari materi pokok/substansi yang
diatur dalam UU tersebut, dan pengaturan pilkada ini masih dalam konteks
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
b. Bahwa berdasarkan
ketentuan UU Nomor 10 Tahun 2004 dalam
lampiran angka 27 yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan
yang digunakan sebagai dasar hukum hanya peraturan perundang-undangan yang
tingkatannya sama atau lebih tinggi.
Sementara itu, untuk anggaran dana pilkada di ambil dari
APBD sangatlah besar bisa mencapai puluhan hingga milyaran rupiah. Biaya
pilkada yang terlalu besar dapat menjadi penyebab seorang kepala daerah
melakuakn korupsi. Sementara itu gaji seorang kepala daerah tidak cukup untuk
membayar keseluruha biaya pilkada, sehingga muncul pendapat kepala daerah
melakukan korupsi untuk membayar biaya
pilkada.
Berikut ini saya lampirkan beberapa biaya pilkada di suatu
kota antara 2007-2012:
1) Kota
Depok Rp. 33 Milyar
2) DKI
Jakarta Rp. 220 Milyar
3) Magetan
Rp. 15 Milyar
4) Madiun
29 Milyar